Thursday, November 10, 2011

Friday, June 17, 2011

Cerita Dalam Sebuah Dompet Kulit

Alkisah gambar Proklamator Soekarno-Hatta di lembaran uang pecahan Rp.100.000,- sedang berbincang santai di suatu sore bersama tumpukan lembaran uang lainnya dalam sebuah dompet kulit.

“Kadang saya ini sering iri kalau liat Kapiten Pattimura di duit seribuan itu” kata lukisan Soekarno membuka percakapan.

“Lho memangnya ada apa dengan beliau?” tanya lukisan Bung Hatta sambil memperbaiki posisi kacamata bingkai tebalnya.

“Lha coba anda bayangkan saja, hubungannya begitu dekat dengan rakyat kecil dibanding kita - kita ini. Padahal aslinya saya ini dikenal dekat dengan orang-orang kalangan menengah ke bawah dan orang-orang susah” kata lukisan Bung Karno dengan agak geram.

“Maksudnya gimana sih?” tanya lukisan bung Hatta makin penasaran.

“Coba tuh perhatikan.. Kapiten Pattimura itu zaman sekarang ini sangat akrab sama tukang sayur, pedagang asongan, tukang parkir, pak ogah yang bantu mengatur lalu lintas di perempatan, apalagi sama pengemis pinggir jalan, dia juga sering i’tikaf dalam kotak infak di masjid juga dalam keranjang sumbangan keliling” jawab lukisan Bung Karno berapi-api.

“Sekarang lihat nih kita.. Saya rasanya maluuuu banget. Kita malah sekarang sering nongkrong dimana coba? Di bioskop, di Mall, Supermarket dan Pusat Perbelanjaan di kota- kota besar. Kita sering banget dibawa ke restoran mewah, ke toko perhiasan dan toko pakaian kelas atas”.

“Saya sekali-kali pengen juga merasakan masuk dalam kotak infak di masjid itu, atau diajak berkunjung ke rumah pengemis lumpuh di pojokan toko sana. Siapa tahu anaknya sekarang sedang menunggu dia pulang untuk membeli beras buat dimasak untuk makan malam nanti. Wah, pasti menyenangkan ya mendengar do’a dan ucapan syukur mereka saat pengemis itu membawa saya berkunjung ke rumahnya”. Mata lukisan Bung Karno menerawang membayangkan kejadian itu.

“Iya ya Pak.. saya sebenarnya juga merasakan hal yang sama dengan Bapak-bapak lho” Tiba-tiba lukisan I Gusti Ngurah Rai di pecahan uang Rp.50.000,- yang sedari tadi mendengarkan perbincangan itu ikut nimbrung.

“Saya juga sering merasa nggak enak hati sama lukisan Kapiten Pattimura. Pernah sih kadang-kadang saya ikut masuk dalam kotak infak di masjid, wuiihh.. isinya penuh sang Kapiten semua.. Ya ada juga memang beberapa lembar Tuanku Imam Bonjol dan Cut Nyak Dien disana, tapi itu masih bisa dihitung pake jari” sambung lukisan I Gusti Ngurah Rai.

Tiba-tiba terdengar suara serak berat dari salah satu lembaran uang dalam dompet itu ;

“Sudahlah… mudah-mudahan nanti kalian bakalan sering mencicipi nikmatnya masuk dalam kotak infak masjid itu atau dibawa berkunjung ke rumah mereka yang dhuafa itu”.

Serentak mereka semua menoleh mencari asal suara tadi.

Ternyata itu suara lukisan Kapiten Pattimura. Terlihat lembarannya sudah sangat kusam dan dekil pertanda sudah sering berpindah tangan. Jauh beda kalau dibanding lukisan Bung Karno dan Bung Hatta juga I Gusti Ngurah Rai yang terlihat masih rapi dan licin.

“Manusia umumnya masih belum paham kalau harta milik mereka itu sejatinya adalah apa yang mereka berikan untuk yang bermanfaat bagi orang lain. Mereka terlalu egois untuk memenuhi keinginan- keinginan mereka saja dan jarang memperhatikan orang sekitar yang membutuhkan. Herannya untuk sesuatu yang bahkan tidak terlalu penting, malah mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan uang sebesar apapun asal itu untuk memenuhi hasratnya”. Sambung lukisan Kapiten Patiimura.

Yang lain hanya manggut-manggut mendengar penjelasan itu.

Selang beberapa waktu, tiba-tiba terdengar suara seorang manusia dari luar dompet yang pengap :

“Tolong berilah saya sedekah pak, keluarga kami belum makan dari pagi.”

Pemilik dompet mengeluarkan dompetnya dari saku celana. Jari-jemarinya menyentuh dan memilih satu persatu lembaran uang yang ada di dalamnya.

Semua menahan nafas, sambil berharap merekalah yang akan dibawa pergi untuk kali ini.

Dan selembar uangpun akhirnya keluar dari dompet tadi berpindah tangan ke seorang pengemis. Selembar uang kumal bergambar Kapiten Pattimura.

Dengan tersenyum kecut Sang Kapiten melambaikan tangannya meninggalkan lembaran lain yang hanya bisa menghela nafas panjang. Kecewa.

********

Cerita ini adalah satu dari banyak kisah inspiratif lainnya yang dimuat di buku "ternyata sedekah nggak harus ikhlas" terbitan Gramedia group.

==

Mau mengikuti twit dari PS setiap harinya? follow PS di twitter @pencintasedekah

Sayangi Ibuku Ya Allah sebagaimana dia menyayangi saya sewaktu kecil...

Ada sebuah cerita menarik yang patut untuk kita jadikan sebagai bahan introspeksi bagi diri kita.

Apakah kita pernah mengatakan "ah" pada ibu kita?

Apakah kita pernah menyakiti hatinya?

Apakah kita pernah buat dia menangis karena kesalahan kita?

Atau bahkan kita pernah tidak mengakui ibu kita? Na'udzubillahi min dzalik....

Astaghfirullahal'adziim,,,, mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi kita agar kita tidak tergolong orang yang Uququl Walidain. Ketahuilah,saat ibu mengandung kita , ibu mengharapkan kita menjadi anak yang soleh dan solehah, menjalankan perintah Allah dan Rasul. Tapi kenyataanya , Kita sendirilah yang memilih ke jalan setan yang TIDAK MUNGKIN ibu mengharapkan kita seperti itu.

Simak cerita berikut ini:

"Nak, bangun... sudah adzan subuh. Sarapanmu sudah ibu siapin di meja...". Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah Perusahaan Tambang, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.

"Ibu sayang... nggak usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku sudah dewasa" pintaku pada Ibu pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru ku keluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan.

Kenapa Ibu mudah sekali sedih ?. Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca, orang yang lanjut usia bisa sangat sensitif dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak. Tapi entahlah.... Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih. Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, "Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih ?". Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana. Terbata-bata Ibu berkata " Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri".

Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu... bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing. Diam-diam aku bermuhasabah, apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ?. Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ?.

Ketika itu ku tanya pada Ibu, Ibu menjawab "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu. Setelah dewasa, kalian berperilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua".

Lagi-lagi aku hanya bisa berucap "Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu".

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier, seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk "cuti" dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak!. Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.

Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh, Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi. Ah, maafin kami Ibu... 18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat Ibu lelah. Sanggupkah aku ya Allah ?.

"Nak... bangun nak, sudah azan subuh... sarapannya sudah Ibu siapin dimeja...". Kali ini aku lompat segera. Kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan "Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu...".

Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. Cintaku ini milikmu, Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu.

"Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu..., dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil". "Titip Ibuku ya Allah".

Sumber: http://marhaban-abhan.blogspot.com/2009/01/titip-ibuku-ya-allah.html

Thursday, June 16, 2011

Ummi... Ummi.... Ummi....


............Malam semakin larut, sang bulan pun indah tersenyum menghiasi malam. Lantunan suara jangkrik dan binatang malam mengiringi suasana sunyi sendu. Sesekali terdengar gonggongan anjing memecah keheningan malam. Nyamuk pun tak henti-hentinya bergurau denganku dengan menggigit. Ditemani secangkir susu hangat ku coba selesaikan dan kubabat habis tugasku. Dan juga sahabatku yang selalu menghibur dan membantuku , laptop. Suasana kamar pun berserakan kertas berubah menjadi berantakan tak tentu. Alhamdulillah walaupun tidak sempurna, kuselesaikan tugasku malam itu juga.............

Waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB , ku tak langsung beranjak memejamkan mata.Iseng-iseng kulihat file-file di laptopku, karena tampak berantakan foldernya. Saat kulihat di folder tertentu(saya lupa namanya), kulihat ada file mp3 Haddad Alwi dan Sulis Album CInta Rasul. Wah, jadi teringat kembali lagu -lagu Haddad Alwi dan Sulis ketika ku masih duduk di bangku SD, pada waktu bulan puasa ku dapat kasetnya, pemberian hadiah dari kakakku.

Seketika itu ku langsung memutarnya, lagu yang kuputar pertama berjudul Ummi. Subkhanallah.... Irama lagunya membuatku merinding terharu, walaupun ku tak tahu apa arti liriknya, tapi ku yakin liriknya pasti menyentuh karena bagi saya yang tak tahu artinya pun bisa terbawa oleh lagu tersebut.
Ku ulangi lagu Ummi tersebut sampai berkali-kali, reaksi yang sama saya rasakan, malah semakin bertambah rasa rinduku pada emak di kampung halaman.

Penasaran, kemudian kucari terjemahannya di internet, wah ternyata benar, maknanya sangat dalam sekali. Berikut lirik dan makna lagu ini :

Ummi - Haddad Alwi dan Sulis

Ummi yaa lahnan a'syaqohu
(Ibu, lagu yang paling kugemari)

wanasyidan dauman ansyuduhu
(irama yang selalu kudendangkan)

Fikulli makanin adzkuruhu
(di mana sahaja, aku mengingatinya)

wa-azhollu azhollu uroddiduhu
(selalu dan selalu aku nyanyikan...)


Ummi yaa ruuhi wa-hayati
(Ibu, wahai jiwaku dan hidupku)

yaa bahjata nafsi wamunaati
(pemberi kebahagiaan dan harapan)

Unsi filhadhiri wal-ati... 2x
(sekarang, juga di masa hadapan...)


Allohu ta'aala aushoni
(Allah memerintahkan aku)

fissirri walau fil i'laani
(dalam ku sendiri atau terbuka)

Bilbirri laki wal-ihsaani... 2x
(supaya bersikap membahagiakan terhadapmu, dan mengasihimu...)


Ismuki manquusyun fi qolbi
(Namamu wahai ibu terpahat di hatiku)

Hubbuki yahdini fi darbi
(cintaku padamu membawaku ke jalan yang benar)

wadu'a-i yahfazhuki robbiy... 2x
(dan doaku selalu, semoga Allah sentiasa menjagamu...)


Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Walaupun lagu ini berjudul Ummi, bagi kita yang memanggil ibu kita dengan sebutan bunda,mama,ibu,emak,mamake, biyunge, dan sebagainya, bisa mengganti lirik ummi dengan panggilan sayang kita terhadap ibu seperti yang saya sebutkan di atas. hehee... becanda kawan.
Akhir kata, semoga tulisanku ini bermanfaat bagi yang pembaca sekalian. Mohon maaf jika ada kesalahan kata, sesungguhnya kesalahan itu datang dari saya sendiri dan kebenaran itu pastilah datangnya dari Allah SWT.
Terima Kasih, plis komentarnya ya...

Oh iya,,, Bagi yang ingin mendownload file mp3 nya, klik di sini



Sesuatu yang bernilai

"Nasi sudah menjadi bubur", sebuah peribahasa yang sering kita dengar. Memang benar kalau semangkuk bubur mustahil menjadi nasi kembali. Dari contoh yang sederhana tersebut kita bisa mempelajari tentang kehidupan manusia di dunia. Di dunia, kita hanya "mampir ngombe" (singgah untuk minum). Jadi apalah gunanya kita membuang buang waktu kita hanya untuk hal yang tak berguna, atau kita akan menjadi seperti bubur yang takkan pernah menjadi nasi.

Mengapa kita mengeluh? Karena kita tak menganggap apa yang kita miliki sekarang sebuah anugerah yang Allah SWT berikan kepada kita yang patut kita syukuri. Anugerah tersebut sangatlah bernilai. Tapi mengapa kita tak menganggap apa yang kita miliki adalah sesuatu yang bernilai??

INGATLAH kawan...
Sesuatu akan bernilai ketika kita kehilangannya...

Masa muda akan sangat bernilai ketika kita tua nanti.
Masa sehat akan sangat bernilai ketika kita dilanda sakit.
Masa lapang akan sangat bernilai ketika kita dalam kesempitan.
HIDUP DI DUNIA AKAN SANGAT BERNILAI TIAP DETIKNYA KETIKA KITA MATI....

Maka benarlah apa yang Allah janjikan, "Demi Masa, Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, melainkan yang beriman dan beramal sholeh serta nasehat kepada kebenaran dan kesabaran,,,,

Mudah-mudahan bermanfaat